.
.
Daddy’s Birthday
“You look so beautiful with my hand around your throat.”
.
.
Berlin
“A more negative forecast than the one presented in spring, when they expected that the decline in the strongest economy in the European Union would not exceed 4.2%,”
Lee Donghae mengecilkan volume radio di mobil yang disewanya selama di Berlin. Samar-samar ia masih bisa mendengarkan penyiar radio itu membahas tentang ekonomi di Eropa, terutama di Jerman.
Terhitung sudah lebih dari tiga minggu di Eropa. Tapi ia paling lama berada di Berlin, urusan bisnis tentu saja. Sampai-sampai ia harus melewatkan hari ulang tahunnya tanpa keluarganya. Parahnya lagi ia lupa membalas semua pesan, telepon, sampai ucapan ulang tahun dari istri dan kedua anaknya.
“In my next life I’d like to be whatever species doesn’t get migraines,” doanya, sebelum ia menelepon Cheonsa dan berharap istrinya itu tidak menendangnya keluar saat ia tiba di rumah.
Butuh waktu sekitar dua sampai tiga menit hingga istrinya itu mengangkat teleponnya. Ulang tahunnya sudah lewat dua hari yang lalu. Tapi karena sibuknya pekerjaan dan segala macam urusan ekonomi negara di Berlin, membuatnya baru memiliki waktu luang untuk menghubungi istrinya.
“Semoga dia masih di New York,” guman Donghae pelan.
Jika Cheonsa masih berada di New York, setidaknya nyawanya pasti masih selamat. Karena tentu perubahan mood istrinya akan dibantu banyak dengan koleksi terbaru dari Saks Fifth Avenue dan Macy’s.
“Ya?” suara Cheonsa terdengar samar, seperti baru bangun tidur.
Donghae langsung melirik ke jam tangannya, pukul enam sore di Berlin. Seharusnya di New York belum terlalu larut.
“Sayang, apa aku menganggumu?” Donghae bertanya dengan pelan. Berharap Cheonsa tidak langsung memutuskan sambungan mereka.
“It’s 3 AM in the morning. Of course you bothered me,” Cheonsa menjawab singkat. Setengahnya ia menggerutu pelan sedikit mengumpat, tapi tidak sampai mematikan telepon suaminya.
Sebagai pria yang sudah menikahi istrinya lebih dari 10 tahun lamanya, tentu Donghae tahu bagaimana cara memenangkan hati istrinya jika ia melakukan kesalahan besar seperti ini. Dengan cepat Donghae mengubah sambungan teleponnya menjadi video call.
.
.
.
.
“You look so beautiful with my hand around your throat,” Donghae menyandarkan kepalanya ke jok mobil. Dia menekan tombol pembatas privasi, sehingga supir sewaannya tidak bisa mendengar pembicaraannya di kursi belakang. Jika melihat Cheonsa yang menatapnya kesal di atas tempat tidur, siapa yang bisa melawannya?
Mungkin Hyukjae benar, dia terlalu sibuk mengurus dunia dan lupa memperhatikan wanita yang paling dicintainya di dunia ini.
“You look older? What are you 66?” balas Cheonsa dengan nada menyindirnya. Tampaknya Cheonsa masih kesal dengan dia yang tidak membalas ucapan atau telepon di hari ulang tahunnya.
“Honey, I’m sorry. Sometimes I just get crazy mad like Chevy Chase was when he got a Jelly of the month club from his boss in Christmas Vacation and other times I’m just lost in Berlin,” jawab Donghae sambil melemparkan senyuman manisnya ke Cheonsa.
“Maybe rather than being angry at me for calling you disingenuous and older, you should be mad at yourself for being those things,” ucap Cheonsa sambil membenarkan posisi tidurnya. Kini Donghae bisa melihat dengan jelas apa yang dikenakan istrinya itu. Hanya gaun tidur tipis berwarna putih yang selalu disukainya. Ini seperti sebuah hukuman sekaligus godaan.
“You’re not in New York?” tanya Donghae sekali lagi, ia berusaha memfokuskan dirinya ke hal lain, selain meminta istrinya untuk melakukan pertunjukkan kecil sebagai hadiah ulang tahunnya.
“Aku pulang lebih cepat, Elle bilang dia merindukanku. Setengahnya lagi Elle merasa jengkel karena hanya Jun yang aku bawa ke New York, kau tahu–aku tidak bisa hidup tanpa Jun,” Cheonsa jelas tidak bisa hidup tanpa pujaan hatinya.
Setelah itu Cheonsa langsung membahas tentang agenda kunjungannya ke New York. Menghabiskan jutaan won milik Donghae dalam waktu singkat.
“Honey..” kali ini Donghae memanggilnya dengan nada suara yang lebih rendah.
Dari tatapan Donghae saja, Cheonsa sudah tahu kemana arah pembicaraan ini. Donghae tidak pernah bisa menunggu.
“Honey, lick your lips. Then tell me I’m next,” pinta Donghae dengan senyuman nakalnya.
Tapi alih-alih mengikuti kemauan suaminya seperti apa yang selalu dia lakukan, setiap kali suaminya itu berada di belahan benua lain. Kali ini Cheonsa menolaknya dengan tegas.
“Ada Elle tidur disampingku. Apa kau ingin membuat putri kesayanganmu teriak karena aku melakukan hal-hal aneh yang kau sukai di depan matanya?” tanya Cheonsa dengan tatapan setengah meledek. Mengetahui bahwa ini adalah hukuman yang terbaik untuk suaminya.
“Sial,” desah Donghae di ujung sana.
“Aku bisa membangunkan Elle, lalu kau bisa mengusirnya langsung untuk kembali ke kamarnya. Kemudian kita bisa melakukan apapun yang kau mau,” tawar Cheonsa tetap dengan senyumannya yang jahil.
Donghae memejamkan matanya, lalu menatap istrinya dengan kesal. Jika Cheonsa tak bisa hidup tanpa Jun. Tentu saja Donghae juga tidak bisa hidup tanpa Elle.
Setiap orangtua selalu memiliki anak kesayangan mereka. Cheonsa dan Donghae membaginya dengan adil.
“Biarkan Elle di sana, dia merindukan ibunya. Aku merasa bersalah karena tidak mengangkat teleponnya tempo hari,” ungkap Donghae menyesal.
Meski Donghae sudah memberikan Elle kartu American Expressnya, sekaligus membayar Lee Taeyong dengan harga yang tinggi, tapi ia tahu bahwa putri kecilnya itu selalu merindukannya.
“Aku akan menghubungimu sebentar lagi. Jun menangis di kamarnya. Seperti biasa, Elle tidak mau Jun tidur bersamanya di sini,” tanpa menunggu persetujuannya, Cheonsa sudah mematikan video call mereka.
Meski Cheonsa sangat menyayangi Jun, tapi Donghae lebih tahu bawa istrinya itu juga sangat menyayangi Elle. Hanya saja sifat keras kepala Cheonsa yang mengalir sempurna di Elle, membuat keduanya sering bertengkar karena masalah sepele.
Kurang dari lima menit, notifikasi ponselnya kembali berdering. Ketika ia mengangkat panggilan video itu, bukan wajah Cheonsa lagi yang dilihatnya melainkan wajah cantik Elle yang tertidur pulas.
.
.
.
“Bagaimana bisa dia secantik itu?” tanya Donghae tak percaya, sambil meminum es kopi yang dibelinya sebelum berangkat ke bandara. Dia sudah tidak sabar bertemu dengan keluarga kecilnya.
“Tentu saja karena aku ibunya,” jawab Cheonsa asal, sambil terus menyorot wajah Elle yang tertidur di sampingnya.
Donghae tertawa lepas, wanita itu benar. Semua keberuntungan di hidup Donghae, termasuk memiliki Elle dan Jun berasal dari dirinya.
Tak terasa mobil yang ditumpanginya sudah berhenti di pelataran bandara. Waktunya pulang, ia menatap Cheonsa sekali lagi sebelum mematikan sambungan mereka.
“Hey when I’m home, I’ll kiss you everywhere you need to be kissed. As gently or roughly as you need. I promise.” bisik Donghae dengan senyuman hangatnya, yang berhasil membuat wajah Cheonsa memerah seperti ketika pertama kali mereka bertemu.
“When you’re here, let’s break some furniture. Safe flight Lee.” bisik Cheonsa dengan tatapan menggodanya, while licking her lips just like he asked to.
Always best birthday present ever for Lee Donghae.
.
.
-fin-
.
.
.
Hi! Masih dalam suasana Donghae’s Birthday, blog tua ini akan kembali aktif (mungkin). Sesuai polling di Twitter, Things About Elle Lee akan tayang setiap hari sabtu! Untuk part kali ini, spesial bahas Papa Mamanya Elle yang kurang dapet screentime di episode-episode sebelumnya (but of course I like to take things more parental advisory lol). So if you like this series, comments are greatly appreciated!
the soft tuna
xo
Finally ada cerita mama papa nya Elle dan Jun! Kangen banget sama love-hate relationship nya Donghae Cheonsa😍😍😍😍
Ceritanya selalu menarik seperti biasa…
Singkat tapi bisa bikin mesem-mesem sendiri..
Donghae ganteng Beta sih! Udah ahjussi padahal😍😍😍
The thing is, whenever I feel like I’m lost and writer’s block, I come here. Re-read several stories that left. And today, imagine how happy I was when I found this. Thank you for your works, IJaggys. Thank you for inspired me, every single time. Love the story, love Lee Donghae, love Han Cheonsa, a lot.