Letter From Vietnam

.

.

Never forget I will always be looking over you. Forever and Always.

.

.

.

Seoul – 2017

.

.

.

“Dia bercerita banyak tentang Vietnam,” Lee Taeyong menatap lorong rumah sakit yang kosong, tidak banyak orang yang berada disana di pagi hari ini—hanya ada beberapa suster yang berjaga di meja resepsionis.

“Bukankah Ibumu selalu bercerita tentang Vietnam?” suara istrinya mengalihkannya dari pikirannya, Jennie Kim berdiri tidak jauh dari tempatnya duduk, istrinya itu terlihat luar biasa lelah setelah berdiri di lorong rumah sakit dengan wajah cemasnya.

“Akhir-akhir ini lebih sering, dia mulai membicarakan tentang kenangannya yang dulu—bersama Ayah, sebelum Ayah pergi ke Vietnam.” Suaranya terdengar lebih rendah, ketika dia menyebutkan sang Ayah, dia tidak pernah memiliki memori apapun tentang Ayahnya selama ini dia hanya mengetahui Ibunya sebagai satu-satunya orang yang sangat dia hargai.

“Dia mengatakan bahwa Ayah berhenti mengiriminya surat di tahun 1975, tepat beberapa hari sebelum perang di Vietnam berakhir—tapi Ayah tidak pernah pulang, dan Ibu tidak pernah menerima kabar apapun tentangnya hingga saat ini.”

Ada sedikit kesedihan di dalam suara Taeyong, dan Jennie bisa menangkapnya. Suaminya itu bukanlah orang yang dengan gamblangnya menceritakan tentang apa yang dia rasakan, sama seperti sang Ibu, Han Cheonsa.

Ketika Jennie pertama kali bertemu dengan Cheonsa, saat itu dia melihat sesosok perempuan dengan garis wajah aristocrat yang tegas. Walau sudah tidak dalam usia yang muda lagi, Cheonsa terlihat sangat sempurna untuk wanita seusianya, rambutnya berwarna coklat nilon yang mengkilap dibawah sorotan cahaya matahari, tidak ada rambut putih yang tersemat disana.

Bola matanya berwarna biru, biru tua—seperti samudra, tatapannya sangat tenang namun membuat siapapun yang menatapnya lebih dari tiga detik merasa tidak nyaman dan terintimidasi. Garis kerutan halus di wajahnya tidak membuat dia kehilangan pesonanya, dia terlihat jauh lebih muda dari usia yang sebenarnya. Dia merawat dirinya dengan sangat baik, tidak heran Taeyong selalu mencari wanita yang berpenampilan sempurna,

“Lee, menyukai wanita yang selalu mendukungnya.”

Itu adalah kata-kata pertamanya ketika Jennie diperkenalkan sebagai calon istrinya oleh Taeyong. Dia tidak pernah sekalipun menyebut Taeyong dengan namanya, dia lebih suka memanggilnya dengan nama depannya, Lee, tanpa memberitahu alasan yang jelas dibaliknya.

“Kondisinya semakin memburuk, Dokter bilang ini hanya masalah waktu hingga dia meninggalkan kita. Aku tidak ingin meninggalkannya sedetikpun.”

Taeyong memejamkan matanya dengan frustasi, Ibunya—wanita yang sangat dia cintai di dunia ini, sebentar lagi akan pergi meninggalkannya untuk selamanya. Ibunya sering pergi ke London, meninggalkannya, lalu mengirimkannya ke sebuah sekolah asrama di Rolle, Switzterland, mengirimkannya sejauh mungkin agar dia tidak mendaftar ke sekolah militer untuk mengejar cita-citanya membela negara seperti sang Ayah.

Tapi Taeyong tahu bahwa Ibunya itu akan selalu kembali, dia akan selalu menyempatkan waktunya mengunjungi Taeyong, berkata bahwa dunia jauh lebih baik tanpa sebuah perperangan dan pertarungan.

Namun kini, dia tahu bahwa cepat atau lambat dia tidak akan bisa lagi mendengar suara rendah dari sang Ibu, bagaimana tatapan samudra itu menyimpan ribuan kisah dan tragedy yang dia simpan dengan sangat rapih hingga akhir hayatnya.

Taeyong lahir satu tahun setelah perang Vietnam berakhir, dia masih ingat ketika dia berusia enam tahun Kakeknya selalu memaksa dia dan Ibunya untuk kembali ke London—tempat kelahiran sang Ibu. Tapi Ibunya tidak pernah menerima tawaran itu hingga detik ini.

“Lee Donghae tidak akan pernah kembali, dan kau tahu itu.”

Kata-kata sang Kakek akan selalu terpatri di dalam otaknya, itulah kali pertama dia mengetahui nama Ayahnya, Lee Donghae. Setiap paginya dia akan selalu menyaksikan sang Ibu berdiri di depan kotak surat yang berada di halaman rumah mereka, dengan tatapan samudranya yang tenang, tidak pernah sekalipun dia menyaksikan Ibunya menangis atau kehilangan ketenangannya.

“Ayahmu berhenti mengirimiku surat setelah aku mengatakan bahwa aku mengandung dirimu, Ibu rasa dia hanya terkejut dengan semua ini dan memutuskan untuk bersembunyi di Vietnam hingga kau berusia 20 tahun.”

Itulah kata-kata yang selalu Ibunya ucapkan setiap kali Taeyong menanyakan kapan Ayahnya akan pulang, dan perlahan tapi pasti, seiring berjalannya waktu Taeyong akhirnya menyadari sesuatu, bahwa tidak akan pernah ada surat yang tiba dari Vietnam.

Tidak akan pernah ada surat yang tiba dari Vietnam untuk selamanya.

“Aku baru saja mengecek kondisi Ibu, dia terbangun—dia bilang, sulit untuk tertidur dengan masker oksigen yang menekan wajahnya.”

Suara Jennie terdengar lebih ringan, dengan senyuman di wajahnya. Meski Cheonsa merupakan wanita aristocrat yang sulit, tapi Jennie sangat menyayangi Ibu Mertuanya itu, dan bagaimana Cheonsa yang menerima kehadiran Jennie di dalam kehidupannya dengan Taeyong.

“Ibu juga memintaku untuk pergi ke rumah lama kalian, dan membawa beberapa barang milik Ayahmu dan melihat kotak surat apakah ada yang tiba dari Vietnam atau tidak.”

Saat mengucapkan kata-katanya yang terakhir, Jennie berusaha serendah mungkin agar suaminya itu tidak semakin larut dalam pikirannya.

“Apakah kau tidak keberatan pergi sendiri?”

“Tentu saja tidak. Aku akan sangat marah jika kau meninggalkan Ibumu sendirian disini.” Jennie mengecup wajah suaminya dengan singkat sebelum meninggalkan Taeyong yang masih menatapnya dengan tatapan penuh terima kasih.

.

***

.

“Are you awake, Mom?”

Suara putranya samar-samar membuatnya terjaga dari tidurnya, bunyi detak jantung dari mesin elektrokardiograf masih memecah keheningan di ruang rawat intensive itu.

“The sky’s awake, so am I, Lee.”

Suara itu terdengar lebih berat dan bergetar, mungkin efek dari semua alat yang menempel di tubuhnya.

Taeyong menatap Ibunya selama beberapa saat, ada sebuah rasa kehilangan dan ketenangan yang dia rasakan setiap kali menatap mata indah Ibunya. Rasa kehilangan itu akan selalu memenuhinya, setiap kali sang Ibu menatap ke arah jendela dengan pandangan kosongnya.

“Ibu tertidur selama dua jam, aku senang akhirnya Ibu berhenti bersikap keras kepala dan membiarkan dirimu beristirahat sebentar.”

Mendengar sindiran halus dari putranya membuat Cheonsa mau tidak mau tersenyum, itu adalah kata-kata yang selalu diucapkan Donghae dulu, setiap kali dia bersikeras untuk bergadang hanya untuk menyaksikan opera sabun favoritnya yang hanya tayang pada dini hari.

“Kondisi jantungku pasti sudah sangat parah, sehingga kau tak tega memarahiku lagi seperti biasanya ketika aku tidak mau meminum obat.” Cheonsa membiarkan Taeyong membantunya untuk duduk di atas ranjang rumah sakit tersebut, dan untuk sepersekian detik Taeyong hanya menarik nafasnya dengan berat.

Pagi ini cuacanya sangat buruk, hujan menghujam begitu deras sejak semalam, kilatan petir saling menyambar. Beberapa saluran berita memprediksikan akan ada badai yang terjadi di sekitar hari ini. Sekilas Taeyong mendengar tentang pengunguman dari speaker yang berada di lorong rumah sakit, agar semua pasien tetap berada di ruangan mereka dan tidak berjalan keluar.

“Aku tadi menyuruh Jennie untuk ke rumah lama kita, apa dia sudah kembali? Sebentar lagi badai akan tiba, apa kau bisa menyusulnya dan memastikan bahwa dia baik-baik saja?”

Taeyong tersenyum mendengar kecemasan dari Ibunya, Ibunya yang dia kenal sebagai seorang wanita yang tidak pernah memperdulikan apapun—bahkan untuk merasa cemas, Ibunya selalu bersikap dengan sangat tenang hingga Taeyong tidak pernah tahu apa yang sebenarnya Ibunya rasakan.

“Dia sudah sampai, sedang mencari tempat parkir. Jennie pasti akan menjerit bahagia, jika dia tahu Idola terbesar di dalam hidupnya, mengkhawatirkannya dengan sungguh-sungguh.”

“Oh, aku selalu menyukai Jennie. Hanya kau yang selalu membuatku terlihat seakan-akan aku mengintimidasi Jen, kau memang seperti Ayahmu yang selalu mencoba membuatku terlihat sebagai wanita jahat.”

Taeyong hanya tertawa mendengar argument dari Ibunya, dia selalu senang menggoda Ibunya. Walau dia tahu, bahwa Ibunya adalah wanita dengan hati terbaik yang pernah dikenalnya. Membesarkan seorang anak dengan kedua tangannya sendiri, menolak semua aliran dana dari keluarganya, dan memutuskan untuk mencari uang sendiri dengan meninggalkan semua impiannya agar Taeyong bisa hidup dengan semua kemewahannya.

“Apa Ibu merindukan Ayah?”

Pertanyaan Taeyong menghentikan pandangan Cheonsa dari derasnya air hujan yang menghujam kaca jendelanya.

“Terkadang,”

Cheonsa tidak melanjutkan, dia kembali mengalihkan pandangannya ke jendela.

“Maaf karena telah memberikan Ibu banyak waktu sulit untuk membesarkanku. Ibu menyerahkan semua mimpi-mimpi Ibu untuk membesarkanku, aku sangat berterimakasih untuk semuanya.”

Dia tidak seharusnya membicarakan hal ini, berkata seolah-olah Ibunya akan meninggalkannya hari ini. Tapi dia tidak pernah memiliki kesempatan untuk mengucapkannya selama berpuluh-puluh tahun, mengucapkan rasa terima kasihnya untuk semua yang Ibunya lakukan kepada dirinya.

“Aku tidak pernah menyerahkan mimpi-mimpiku, aku telah mendapatkan semuanya ketika bertemu dengan Ayahmu dan melihatmu menangis pertama kali di dunia ini. Aku telah mendapatkan apa yang aku impikan, Lee Donghae dan Lee Taeyong.”

Ada sedikit perubahan suara yang Taeyong tangkap ketika Ibunya mengucapkan nama Ayahnya untuk pertama kalinya, selama ini dia hanya mendengar Ibunya menceritakan semua kisah kenangan itu dengan menyebut Ayah tapi tidak pernah dengan nama lengkapnya.

Bunyi derit pintu memecah keheningan disana, Jennie dengan pakaian setengah basah masuk ke dalam ruangan itu dengan setengah berlari, dia tidak membawa apapun, tidak dengan barang-barang milik Lee Donghae atau apapun yang tersimpan di rumah penuh sejarah itu.

Jennie menatap Taeyong untuk beberapa saat, wajah suaminya itu menatapnya dengan bingung, tapi kemudian pandangannya teralih kepada Cheonsa yang masih mengamati rintikan hujan dengan tatapan tenangnya.

“Ada satu surat yang tiba dari Vietnam.”

Dan setelah kata-kata itu terucap tatapan samudra itu tidak pernah terlihat seindah ini sebelumnya.

.

***

.

Lee Taeyong mengenggam satu amplop berwarna cokelat tua dengan tinta nama yang mulai pudar disana, dengan stamp bendera Vietnam yang mulai terkelupas.

.

“From: Lieutenant Colonel, Lee Donghae. 20 April 1975, Saigon, Vietnam.”

.

Nama itu masih terbaca dengan jelas, mesikpun tintanya mulai memudar digantikan dengan warna kuning berkarat di setiap titik tinta. Dia menatap Ibunya yang masih tersenyum dengan bahagia.

“Aku menemukan surat ini di dalam kotak surat, lalu aku menghubungi kantor pos nasional untuk menanyakan keaslian surat ini. Mereka bilang, hari ini mereka mengirimkan semua surat yang tidak pernah terkirimkan dari Vietnam.”

Cheonsa tersenyum mendengar penjelasan Jennie, sebelum mengenggam tangan Jennie dengan erat sebagai rasa terimakasihnya.

Lee, apa kau mau membacakan surat pertama dari Ayahmu?”

“Tentu saja.” Jawab Taeyong diiringi kecupan singkat di kening Ibunya.

“Hai Han,”

Taeyong membaca kata pertama dari surat itu, tulisan tangan yang berantakan, dengan tinta yang mulai bercampur menjadi satu dan menguning tapi entah bagaimana dia tetap bisa membaca setiap kata yang dituliskan oleh Ayahnya dengan sangat jelas.

“Aku tidak tahu mengapa aku menulis surat ini, aku berharap bahwa surat ini tidak akan pernah sampai kepadamu. Karena jika kau membaca surat ini, itu berarti aku telah tiada, dan aku tidak akan pernah bisa memiliki kesempatan untuk menunjukan seberapa besar aku mencintaimu.”

“Maaf karena tidak menulis surat kepadamu lebih dari satu bulan, kondisi disini semakin buruk—aku berada di Saigon, mereka bilang sebentar lagi perang akan segera berakhir, dan aku bisa kembali—bertemu denganmu, dengan anak kita, aku berharap kita mendapatkan anak laki-laki, agar dia bisa melindungi dan menjagamu ketika aku tidak ada.”

“Han, mungkin kau sudah muak membaca kata-kata ini karena aku selalu menuliskannya di setiap surat kita. Aku sangat mencintaimu, kau telah menunjukan apa arti cinta dan bagiamana rasanya dicintai begitu dalam. Kau adalah detak jantungku, jiwa di dalam hidupku, dan kau dalah diriku—karena tanpamu aku bukanlah apa-apa.”

“Kau adalah orang yang aku selalu ada ketika aku membutuhkan bantuan, kau adalah satu-satunya orang yang aku butuhkan untuk membuatku tersenyum dan melupakan semua yang tengah terjadi di dunia ini. Ketika aku meninggalkanmu seperti ini, aku merasa setengah jiwaku pergi.”

“Aku tahu bahwa Tuhan telah menempatkanku dan dirimu di dunia ini agar kita bisa bertemu, dan jatuh cinta lalu menunjukan seberapa hebat rasa cinta yang kita miliki. Setiap malamnya, aku selalu menghabiskan waktu memandang fotomu, dan menciumnya sebelum tertidur, karena itulah satu-satunya hal yang membuatku bertahan dengan semua ini.”

“Aku menaruh fotomu diatas tempat tidurku, agar kau bisa melihatku ketika aku tertidur, dan kini aku tahu bahwa ini adalah waktu dimana aku memandangmu dari atas sana dan melihatmu melanjutkan hidupmu dan meraih semua impian yang kau inginkan.”

“I will always be looking over you to make sure you’re safe, Han.”

“Han, meski aku telah meninggalkan dunia ini, meninggalkanmu sendirian disana, itu bukan berarti aku tidak berada di sisimu. Aku selalu berada disisimu bahkan ketika kau sudah tidak bisa melihatku.”

“Kapanpun kau membutuhkanku kau bisa memejamkan kedua matamu, dan aku akan berada disisimu, menjagamu dan menemanimu.”

Kata-kata Taeyong terputus ketika seorang Dokter masuk ke dalam ruangan, dan memanggil Jennie serta dirinya untuk membicarakan kondisi terakhir Cheonsa.

Taeyong menatap tiga baris terakhir dari surat itu, tidak banyak yang tersisa. Jennie terlihat mengusap air matanya setelah mendengar isi surat itu, sebelum memenuhi panggilan Dokter.

“Ibu, aku akan berbicara dengan Dokter sebentar, aku akan segera kembali—membacakan—“

Kata-kata Taeyong terputus ketika dia menyadari kelopak samudra itu telah tertutup, perlahan dia berjalan mendekat kearah Ibunya, dia menyentuh tangan Ibunya yang mulai mendingin.

Taeyong mengalihkan pandangannya kearah mesin elektrokardiograf disampingnya, detak jantung itu semakin melemah—ingin rasanya dia berlari keluar dan berteriak kepada semua Dokter untuk menyelamatkan Ibunya.

Tapi dia hanya terdiam disana, mengenggam tangan Ibunya dengan erat, tidak ingin melepaskannya sedetikpun. Dia ingin berada disana ketika Ibunya tertidur dengan tenang, dia ingin berada di sisi Ibunya, ketika wanita bermata samudra itu bertemu dengan Ayahnya lagi di atas sana.

Dia tahu bahwa sudah tidak ada lagi yang menahan sang Ibu untuk berada disini, surat dari Vietnam yang selalu ditunggunya selama puluhan tahun telah tiba.

Satu surat dari Vietnam.

Satu harapan dari Vietnam.

Dan satu penutup dari Vitenam.

Taeyong mengelus rambut cokelat nilon itu, sebelum mengecup kening Ibunya dengan lembut dan membisikan kata-kata terakhirnya.

“Sleep well, Mom.”

Setelah itu, dia bisa mendengar suara lurus yang memenuhi ruangan itu seiring berhentinya detak jantung sang Ibu. Han Cheonsa telah kembali ke peraduannya, dalam sebuah pejaman mata, dimana Lee Donghae berada disisinya dengan senyuman dan tatapan teduhnya.

Dan penantian panjang itu telah berakhir, bagi Lee Donghae dan Han Cheonsa.

.

***

.

Prolog

.

“Dia bertahan selama 70 tahun di dunia ini, tapi aku tidak pernah merasa puas. Aku selalu berpikir bahwa dia akan terus menemaniku hingga aku tiada—sungguh menjengkelkan melihatnya pergi tanpa diriku.”

Jennie menatap suaminya dengan senyumannya, dia kemudian memberikan pelukan hangat kepada Taeyong berusaha untuk meringankan sedikit duka dan kehilangan atas kepergian Ibunya.

Taeyong menggelar upacara pemakaman yang sederhana, dipenuhi oleh bunga Lilac kesukaan sang Ibu.

“Dia jauh lebih bahagia disana, dengan Ayahmu—dengan orang-orang yang dia sayangi. Dia pasti akan sangat merindukanmu, tapi, dia tahu bahwa kau akan baik-baik saja.”

Taeyong menatap Jennie untuk beberapa saat lalu mengecup kening istrinya.

“Terimakasih telah berada disisiku dan membantuku melalui semua waktu sulit ini.” Sesungguhnya dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan jika Jennie tidak berada di sisinya.

“Aku akan menyiapkan makan malam, dan kau harus berhenti memandangi foto Ibumu saat muda—tapi aku tidak bisa menyalahkanmu, karena dia sangat sempurna.” Jennie tampaknya berhasil mencairkan suasana, karena untuk pertama kalinya Taeyong berhasil menyunggingkan senyumannya sejak kepergian Ibunya.

“Kau juga harus berhenti mengidolakannya, dan berhenti meniru gaya rambutnya di tahun 70an.” Dengan lemparan gurauan dari suaminya itu, Jennie tertawa kecil sebelum meninggalkan suaminya di kamar sendirian.

Taeyong mengalihkan pandangannya ke arah meja kecil yang berada di samping tempat tidurnya, amplop usang itu masih tersandar disana. Mungkin, satu-satunya benda yang ditinggalkan sang Ayah untuk dirinya.

Dia memutuskan untuk membuka kembali surat itu, ada sedikit rasa penyesalan yang tergambar ketika dia menyadari bahwa dia tidak sempat membaca semua surat itu hingga habis kepada Ibunya.

Dengan perlahan dia membaca baris terakhir dari surat itu.

.

I really did love you with all I had, you were everything to me. Never forget that, and never forget I will always be looking over you.

Forever and always.

Lee.

.

Taeyong membaca menutup surat itu dengan sebuah senyuman, kini dia tahu alasan mengapa sang Ibu selalu memanggilnya Lee, karena Han Cheonsa selalu melihat Lee Donghae di dalam sosok Lee Taeyong—dan mungkin itu adalah satu-satunya alasan untuk membuat samudra itu terus melanjutkan hidupnya.

.

.

-fin-

.

.

Supporting Cast: Lee Tayeong (NCT) with Jennie Kim (Black Pink)

.

.

HAI because today is my 21st birthday (i’m officialy an adult now), dan juga ini hari ulang tahun Han Cheonsa, jadi fic ini sengaja diluncurkan pas hari ini untuk merayakan hari ulang tahun kita berdua. Please leave some comment or thoughts after reading this one, so I know some people are still attached to this dusty blog.

.

.

LOVE IT. MEAN IT. FIRST LADY IS 21.

ijaggys

 

About IJaggys

Sorry, am I supposed to know who you are?

11 responses »

  1. nathalie says:

    G tw mw comment apa tp ceritanya sukses bikin nangis lho…g k’bayang aja gmn setia’y cheonsa bwt nungguin surat dr donghae.

  2. mokpofish86 says:

    OMG Kak, aku udah lama nggak buka Blog ini…. Dan pas dibuka ada ini…. Dan demi apa aku nangis malem malem gini…. Kak kamu emang paling bisa bikin reader nangis bombay 😭😂😭😂…… Ahh pokoknya the best kak sonia 😍😍, ini feel nya super dapet banget… Ohh Ya Allah LDHCS, setelah sekian lama nggak baca cerita kalian… Sekalinya baca bikin hati nyesek banget……. Sumpah kak sonia the vest pokonya

  3. mokpofish86 says:

    OMG Kak, aku udah lama nggak buka Blog ini…. Dan pas dibuka ada ini…. Dan demi apa aku nangis malem malem gini…. Kak kamu emang paling bisa bikin reader nangis bombay 😭😂😭😂…… Ahh pokoknya the best kak sonia 😍😍, ini feel nya super dapet banget… Ohh Ya Allah LDHCS, setelah sekian lama nggak baca cerita kalian… Sekalinya baca bikin hati nyesek banget……. Sumpah kak sonia the vest pokonya

  4. Choki Sue says:

    aku terharu, diakhir hidupnya cheonsa dia masih sempet dapet surat donghae yg pasti ditunggu bgt plus aku ngga g ngebayangin cheonsa 70th kyk apa, yg pasti masih cantik sih. Dan surat dari donghae pun memuaskan utk ditunggu dari th 1975 – 2017 :”))

    Yang bikin aku seneng, ada taeyong dan jennie yg jadi husband wifey di sini, asli deh bahagia bet, krn sejujurnya saya ngeship mereka (pake banget) bolehlah bikin mereka lagi huehehehe

    Ps.Mungkin yg diakhir seharusnya tulisannya epilog bukan prolog

    Btw, happy birthday buat Ijaggys dan Han Cheonsa 🎂🎂

  5. kim_yeon says:

    Huhuhu demi apa ceritanya sedih bangettt Banjir air mataku huhuhu
    Tidak terbayang selama apa penantian Cheonsa. Hari demi hari, minggu demi minggu dan tahun demi tahun namun dia masih setia menunggu sampai waktunya tiba 😦 Huaaaaa
    Ternyata Donghae sudah lama pergi
    Serius niiihhh aku nangis kak *nyesek*

    Happy Belated Birthday!!!! wish you the best of luck ❤ 😀 it's still August btw hehehe

  6. Minseokhoon says:

    HBD ijaggys! All the best for u. Btw suka banget sama ceritanya dan gaya bahasanya, romance simple yg gak bikin eneg dan angst-nya justru jadi favorit :”)💜 good job deh, ini kerennn sangat (but i really miss Gangnam Love Story too lol)

  7. - says:

    Satu-satunya hal yang ditunggu cheonsa ternyata surat dari donghae:’) alwayss

    anyway, happy belated birthday kak! i know it’s too late:D

  8. inggarkichulsung says:

    Aigoo very very late i know your birthday Sonia, but Saengil Chukka hamnida Sonia Hope all the best for you..HCS LDH have an endless love, Taeyong n Jennie now really know about that, Cheonsa oemma tetap menunggu dan yakin bhw akan ada surat dr Vietnam dr suami tercintanya Donghae, Appa Taeyong…Dan saat itu tiba Cheonsa yg sdh berusia 70 tahunan bs pergi dgn tenang stlh mengetahui kabar yg sebenar2nya dr cinta terdalamnya, really sad story but really precious

  9. fsshy says:

    Kak, untuk sekian kalinya ini cerita ngena. Sedih. Bikin nangis.
    Salut sama Han. Nungguin surat sekian lama. Penantiannya ga sia sia. Bener bener salut. Respect

  10. Tryepo98 says:

    Well, Donghae’s letter so f*ckin’ sweet and i luvv it. Such a perfect man for super duper perfect women 💕💕

Leave a reply to nathalie Cancel reply